Kompas.tv, Kami berdiri di bawah tiang listrik yang sudah lama dipasang, tapi belum pernah mengalirkan cahaya. Kabel-kabelnya menggantung sunyi, seperti janji yang tak sampai ke ujung desa. Warga menyebutnya “tiang harapan yang belum menyala.” Anak-anak belajar dengan pelita, orang tua menanak nasi di bawah cahaya remang. Di balik keheningan malam, kami mulai mendengar suara lain: bukan teriakan, tapi tangis yang nyaris tak terdengar — tangis lembut dari mereka yang terlalu lama menunggu.
Suara-Suara yang Tak Pernah Minta Dikasihani
Tak ada amarah dalam suara mereka. Yang ada hanya cerita-cerita pelan tentang bertahan. Seorang ibu berkata lirih, “Kami tidak menuntut apa-apa, cuma ingin anak-anak kami bisa belajar tanpa harus menyalakan lilin tiap malam.” Suara itu tak keras, tapi justru karena pelan ia jadi menembus lebih dalam. Kami sadar, kekuatan bukan selalu datang dari yang lantang, tapi dari ketabahan yang tak pernah diunggah.
Hidup yang Berjalan Meski dalam Gelap
Meski listrik tak pernah datang, hidup terus berjalan. Warga tetap menanam, menimba air dari sumur, menyalakan tungku, menyambut pagi dengan doa yang sama setiap hari: semoga hari ini lebih terang. Dan di tengah keterbatasan itu, mereka tetap menjaga harga diri—tak meminta-minta, tapi berharap dilihat sebagai manusia yang layak mendapat perhatian.
Jurnalisme yang Tak Menyalakan Lampu, Tapi Menyuarakan Gelap
Kami tak bisa menyalakan listrik. Tapi kami bisa menyuarakan gelap yang terlalu lama dibiarkan. Kami tak membawa solusi instan, tapi kami membawa niat untuk mendengar dan menyampaikan. Karena di balik tiang listrik yang tak menyala, kami temukan bukan sekadar cerita kegelapan—tapi keteguhan yang layak jadi pelita bagi negeri ini.